I.
PENDAHULUAN
“Walisongo”
berarti sembilan orang wali”
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan
Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu
sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam
hubungan guru-murid Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana
Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti
juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel.
Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak
Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah
sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu
meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga
pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di
Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat.
Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya.
Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan,
bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.Pesantren
Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa
itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara.
Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin
pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni
yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah
pendamping sejati kaum jelata.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana latar belakang Sunan Kudus ?
2.
Bagaimana sejarah Sunan Kudus?
3.
Bagaimana cara yang dilakukan Sunan Kudus dalam berdakwah ?
4.
Bagaimana peninggalan benda Sunan Kudus?
III.
PEMBAHASAN
A.
Biografi Sunan Kudus
Ja'far
Sodiq, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus, adalah putera dari
pasangan Raden Usman Haji yang bergelar dengan sebutan Sunan Ngudung di Jipang
Panolan (letaknya disebelah utara kota Blora) dengan Syarifah Dewi Rahil binti
Sunan Bonang. Lahir pada 9 September 1400M/ 808 H. Sunan Ngudung adalah putra
Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja Pandita/Raden
Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah di
Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang. Menurut cerita
rakyat Sunan Kudus adalah cucu Sunan Ampel. Ada yang mengatakan bahwa beliau
keturunan orang Persia ,tetapi ada juga yang menyatakan beliau itu orang Jawa
asli. Jika mengingat pengaruhnya yang sampai sekarang masih besar di kalangan
masyarakat Kudus, yaitu mempunyai jiwa dagang, maka menurut dugaan Sunan Kudus
itu adalah keturunan Persia atau setidak –tidaknya dari Pasai.
Sunan
Kudus memiliki sifat gagah berani sebagai seorang panglima perang, beliaulah
yang menggatikan ayahnya memimpin ekpedisi ke Jawa Timur ,setelah ayahnya gugur
di medan pertempuran. Sunan Kudus adalah ulama fiqih yang sangat ketat memegangi syariat dalam cara
berfikirnya dan tegas dalam bertindak menghadapi penyelewengan Diriwayatkan,
beliaulah yang banyak mengambil peranan dalam bidang para wali yang dikuasakan
oleh Sultan Demak mengadili Syaiq Siti Jenar. Memang Siti Jenar sebagai seorang
sufi dan Sunan Kudus terkenal oleh faqih (ahli fiqif ) yang kuat syairatnya ,
sudah barang tentu memiliki pandangan hidup dan tinjauan terhadap berbagai
persoalan yang sangat jauh berbeda .
Sunan
Kudus menyiarkan agama islam seperti para wali yang lain yaitu dengan
kebijaksanaan, tidak memakai kekerasan atau paksaan. Dintaranya caranya dapat
disebutkan misalnya; melarang untuk memotong binatang yang dianggap suci bagi
agama Hindu, menggunakan elemen–elemnen bangunan candi Hindu untuk bangunan
masjid makam, menciptakan gending Maskumambang dan Mijil. Dengan cara demikian
Sunan Kudus mengajarkan agama islam kepada mereka dan lambat laun dengan
kemauanya sendiri para penganut agama Hindu ini kemudian masuk islam.
B.
Sejarah dari Sunan Kudus
Dalam
sejarah Sunan kudus adalah salah seorang wali dari kesembilan wali yang telah
menyiarkan agama islam di pantai utara Jawa Tengah. Di dalam sejarah islam di
Demak, terkenal pula nama Pati Unus atau Adipati Anus, yang menggantikan kedudukan
sebagai Sultan Demak II, sesudah wafatnya Raden Patah. Adipati Anus atau yang
juga disebut pangeran seberang lor pada tahun islam, telah dapat menguasai
Jepara, serta menjandikan Jepara sebagai pangkalan militer. Jepara diperkuat
dan dikerahkan kapal-kapal besar yang berdiri pada tahun 1513 M. Sunan Kudus
juga menjadi sinopati dari kerajaan Bintoro Demak yang setiap saat siap sedia
berkorban untuk membela keselamatan negara Demak. Beliau juga memegang kendali
pemerintah di daerah Kudus. Oleh karena Kudus adalah tempat beliau menghabiskan
masa hidupnya, tempat berjuang menegakkan islam hingga wafatnya beliau. Dalam
masa berikutnya Sunan Kudus belajar kepada Raden Rahmat Ampel Dento dan Sunan
Giri di Gresik. Dengan ketajaman fikiran
dan kejernihan hati, beliau mampu menguasai bidang-bidang ilmu dalam islam
seperti tauhid, ushul fiqh, fiqh,
tafsir, hadist, dan sastra. Kedalaman ilmu inilah yang membuat beliau terkenal
dengan penguasa ilmu ( waliyul ilmi).
Tidak mengherankan jika Sunan Kudus memiliki reputasi besar yang dikenal
sebagai wali yang paling tegas dalam memegang teguh syariat islam. Bahkan
beliau tidak segan-segan menggunakan jalan kekerasan dalam menjaga kemurnian
islam dari penyimpangan. Di antara buktinya adalah pendapat beliau agar menghukum
mati Syeikh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging (Kebo Kenongo). Ketika Sunan
Ngudung menemui Syahid pada tahun 1524M dalam perang melawan Prabhu Udhoro sisa
kekuatan Majapahit di Kediri , Kerajaan Islam Demak mengangkat Sunan Kudus
sebagai senopati (Panglima Perang). Bukan hanya karena beliau putra dari Sunan
Ngudung yang menjadi panglima sebelum Syahid, akan tetapi lebih dikarenakan
pengetahuan dan keberanian Sunan Kudus. Beliau mengetahui ilmu militer dan
siasat perang dari ayahnya yang telah berpengalaman. Selain itu Sunan Kudus
juga memahami tentang sistem pemerintahan
kerajaan Islam Demak, berjiwa pemimpin, bertubuh yang kokoh, serta
memiliki ketangkasan dan keberanian yang melekat kuat dalam jiwa beliau. Inilah
sifat-sifat Sunan Kudus yang sangat layak di angkat sebagai panglima perang
Kerajaan Islam Demak Bintoro.
Sunan
Kudus adalah seorang ulama dan guru besar yang mengajarkan ilmu agama terutama
Ilmu Fiqih. Atmodarminto dalam bukunya babad demak menyebutkan bahwa sunan
kudus sebagai satu-satunya wali yang paling menguasai ilmu fiqih. Beliau
menggantikan kedudukan Maulana Malik Isra’il pada tahun1436M. Sunan Kudus
dikalangan msyarakat setempat terkenal dengan keahlimanya, yaitu seribu satu
cara tentang kesaktiannya menyembuhkan segala penyakit, dan diantara kesembilan
wali, hanya beliau yang terkenal sebagai ”Waliyatul Ilmu”. Disamping berjuang
memanggul senjata, beliau juga seorang pujangga yang berinisiatif mengarang
riwayat-riwayat pondok yang berisi filsafat serta berjiwa agama yang dikenal
dengan ”Gading Maskumambang dan Mijil”.
Ada
cerita yang mengatakan bahwa Sunan Kudus pernah belajar di Baitul Maqdis,
Palestina, dan pernah berjasa memberantas penyakit yang menelan banyak korban
di Palestina. Atas jasanya itu, oleh pemerintah Palestiana ia diberi ijazah
wilayah (daerah kekuasaan) di Palestina, namun Sunan Kudus mengharapkan hadiah
tersebut dipindahkan ke Pulau Jawa, dan oleh Amir (penguasa setempat)
permintaan itu dikabulkan. Sekembalinya ke Jawa ia mendirikan masjid di daerah
Loran tahun 1549, masjid itu diberi nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar (Masjid
Menara Kudus) dan daerah sekitanya diganti dengan nama Kudus, diambil dari nama
sebuah kota di Palestina, al-Quds. Dalam melaksanakan dakwah dengan pendekatan
kultural, Sunan Kudus menciptakan berbagai cerita keagamaan. Yang paling
terkenal adalah Gending Makumambang dan Mijil.
C.
Strategi dakwah Sunan Kudus
Secara
umum metode dakwah walisanga dikenal dengan pendekatan kultural sehingga
memberikan watak islam yang ramah, damai, dan toleran, namun masing-masing wali
memiliki keunikan tersendiri sejalan dengan watak sosial dan budaya daerah yang
disinggahi oleh para wali. Mengenai strategi dakwah Sunan Kudus, akan
dijelaskan sebagai berikut ;
1.
Pendekatan struktural dakwah Sunan Kudus
Dalam
struktur “Dewan Wali” menurut kitab walisanga karangan Sunan Giri, Sunan Kudus
dipercaya sebagai Panglima perang di Kerajaan Demak Bintoro. Sunan Kudus juga
dikenal sebagai “eksekutor” ketika terjadi ketetapan hokum atas sebuah masalah
yang diputuskan oleh Dewan Walisanga. Hal itu terjadi ketika Syaikh Siti Jenar
karena dianggap menyimpang atau membelot dari ajaran walisanga, sehingga
dianggap akan menyesatkan umat yang baru saja memeluk Islam. Maka Syeikh Siti
Jenar mendapatkan putusan hukuman mati. Eksekutor dalam hukuman ini diserahkan
kepada Sunan Kudus. Meskipun pada akhirnya Syaikh Siti Jenar memilih sendiri
caranya untuk mati.
Strategi dakwah Sunan Kudus yang
menggunakan pendekatan struktural yaitu dengan cara mengislamkan penguasa atau
ikut terlibat dalam pendirian kekuasan baru,
seperti kesultanan Demak dan Cirebon. Sunan Kudus turut terlibat sebagai
senopati di Kasultanan Demak.
2.
Pendekatan kultural dakwah Sunan Kudus
Sunan
Kudus sejak memulai dakwahnya di Kudus enam abad yang lalu melalui jalur
pendekatan kultural. Beberapa model dakwah Sunan Kudus yang mengedepankan
pendekatan cultural akan dijelaskan sebagai berikut ;
a.
Menciptakan ruang budaya
Langkah
pertama aksi dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kudus ketika memulai gerakannya
adalah membangun masjid. Meskipun pada awalnya dalam bentuk yang sederhana,
dalam perspektif budaya Sunan Kudus sebenarnya sudah sadar akan pentingnya
ruang budaya dalam melakukan transformasi sosial. Masjid dalam hal ini menjadi
smacam nilai simbolik babak baru dalam melakukan transmisi nilai, meski dari
segi struktur bentuk masjid masih tetap memperhatikan budaya local yang mirip
bangunan pure, tempat ibadah bagi umat Hindu.
Keberadaan
masjid Al Aqsha dan menara kudus yang kokoh, tegak dan menjulang tinggi terseut
sebagai penanda yang jelas menyiratkan adanya penanda bahwa bangunan
kepercayaan lama segera ditinggalkan, beralih kepada kepercayaan baru.namun
nilai-nilai lama yang tidak bertentangan denagna islam yan dimiliki oleh Hindu
tidak serta merta dihilangkan secara total. Oleh karena itu dalam konstruksi
bangunan masjid dan menara tersebut Sunan Kudus tetap memperhatikan dan
menghargai pola dan bentuk bangunan yang sebelumnya sudah ada, yaitu miripatap bangunan pure.
b.
Akulturasi
Pola
akulturasi sangat kental dalam strategi dakwah Sunan Kudus, beliau mencoba
membawa unsur-unsur budaya baru yang sarat dengan muatan islami, namun tetap
mempertahankan unsur-unsur budaya lamayang melekat dalam masyrakat Kudus saat
itu.
Jauh sebelum
kehadiran islam yang dibawa oleh sunan kudus kebanyakan masyarakat memiliki
kepercayaan yang cenderung bertentangan dengan tauhid. Struktur masyarakat
dibangun denganm system kasta atau perbedaan golongan kelas, sehingga kehidupan
masyarakat cenderung diskriminatis, tidak adil pada saatt itu. Manifestasi yang
suci diwujutkan dalam bentuk arca dan juga binatang-binatang tertentu yang
dianggap memiliki nilai sakral. Yang menonjol aalah mempercayai adanya banyak
tuhan (politeisme).
Maka
ketika sunan kudus membawa ajaran baru dengan agama islam yang menekankan aspek
tauhid (monoteisme), jelas sangat bertolak belakang dengan ajaran masayarakat
setempat. Ini merupakan tantangan berat bagi sunan kudus. Maka denganm penuh
bijaksana sunan kudus tidak secara frontal menyampaikan ajaran islam tersebut
kepada mereka. Akulturasi islam dan budaya lokal adalah salah satu strategi
yang ditawarkan oleh sunan kudus. Beberapa bentuk pola alkuturasi budaya lokal
yang dekat dengan tradisi hindu dengan nilai-nilai islam dapat dicermati pada pembahasan berikut :
·
Berntuk bangunan
Pola
alkuturasi budaya local hindu /buda dengan islkam dalam bentuk arsitektur yang
paling jelas terdapat pada bangunan menara kudus yang menjadi kebanggaan umat
islam. Kalau diperhatikan bentuk menara kudus itu menyerupai bangunan pura di
bali atau candi jago peninggalan hindu-budha di malang. Demikian juga
ornamen–ornamen yang ada pada menara kudus juga mencerminkan lintas budaya,
seperti piringan yang melekat di dinding menara adalah model piringan cina.
Menara kudus
yang bentuknya mirip pura, di fungsikan sebagai tempat adzan agar orang-orang
bisa mendengarkan bila adzan dikumandangkan.di menara ini juga selalu dibunyikan
bedug setiap kali datangnya bulan suci ramadhan, sebagai tanda masuknya ibadah
puasa.
Bentuk lain
pola alkuturasi juga bisa dilihat pada 8 pancuran/padasan kuno. Tiap–tiap
pancuran dihiasi dengan relief arca sebagai ornament penambah estetika. Pancuran
wudhu itu mengadopsi ajaran budha, asta sanghika marga yakni 8 jalan utama yang
menjadi pegangan umat saat itu dengan merujuk pada 8aspek yang penting dalam
kehidupan yakni: pengetahuan, keputusan, perbuatan, cara hidup, daya, usaha,
meditasi, dan keutuhan. Pada ornamen pancuran yang masih otentik tersebut
dialih fungsikan untuk bersuci sebelum shalat dilakukan yang hingga sekarang
masih ada dan berfungsi dengan baik.
·
Mangikat sapi di halaman masjid.
Untuk
mengait masyarakat sekitar agar tertarik datang masuk ke masjid menara kudus,
sunan kudus medatangkan sapi lalu dikat di depan masjid. Dalam kepercayaan
mereka sapi adalah binatang yang dihormati, sehingga jarang orang memiliki
sapi. Sapi biasanya hanya oleh orang–orang tertentu yaitu pemuka–pemuka mereka.
Dengan cara yang seperti itu, orang berbondong–bondong datang ke masjid, yang
tujuan awalnya adalah menghampiri sapi yang langka itu. Maka ketika sudah
banyak orang yang berkumpul di masjid, sunan kudus menyampaikan
wejangan–wejangan ringan terkait dengan ajaran islam.
Yang
tak kalah menarik sunan kudus juga melarang jamaahnya untuk menyembelih sapi,
meski dalam islam hal itu dihalalkan. Hal ini sebagai wujud strategi menarik
simpati masyarakat yang kebanyakan saat itu menganggap binatang sapi sebagai
makhluk yang suci. Ternyata apa yang dilakukan oleh sunan kudus benar–benar
ampuh, sehingga dalam waktu yang tidak lama islam dapat diterima dan dianut
oleh sebagian besar masyarakat Kudus hingga sekarang warga kudus masih
mempertahankan adat tersebut dengan tidak menyembelih sapi pada saat hari raya
idul atha. Dengan demikian sunan kudus lebih mengedepankan toleransi dan
harmoni dari pada konflik dalam menyiarkan islam.
·
Mengubah tembang dan cerita ketauhidan
Sunan
kudus juga dikenal sebagai penyair dan pengubah cerita rakyat yang berfisi
ketauhidan. Buah karyanya adalah lagu gending maskumambang dan mijil. Dalam
banyak hal sunan kudus mencoba mewarnai gending atau cerita–cerita tertentu
yang semula kering dari nilai islam, diisi dengan semangat ketauhidan.
·
Strategi Pendekatan Masyarakat
a. Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar
dirubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal
menghadapi masyarakat yang demikian.
b.
Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah
dirubah maka segera dihilangkan.
c. Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap
kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit
demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari
belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
d. Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras didalam
cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak
mengeruhkan airnya
e. Pada akhirnya boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau
masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus
berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik
dengan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali dengan konsekuen.
Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan
gerak-gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat
non-muslim.
·
Merangkul Masyarakat Budha
Sesudah
berhasil menarik umat Hindu kedalam agama Islam hanya karena sikap toleransi
yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun
menara mesjid mirip dengan candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring
umat Budha. Caranya memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat
memaksa. Sesudah mesjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat wudhu
dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca
kepala kebo gumarang diatasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha, “Jalan
berlipat delapan” atau Sanghika Marga
a.
Harus memiliki pengetahuan yang benar
b.
Mengambil keputusan yang benar
c.
Berkata yang benar
d.
Hidup dengan cara yang benar
e.
Bekerja dengan benar
f.
Beribadah dengan benar
g.
Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya pun
membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk itu Sunan Kudus
memasang lambang wasiat Budha itu di
padasan atau tempat berwudhu, sehingga mereka berdatangan ke mesjid untuk
mendengarkan keterangan Sunan Kudus. Sunan Kudus juga pernah ikut dlam perang melawan Portugis bersama Pati
Unus pada akhir tahun 1512M hingga awal tahun 1513M. Sebagai panglima perang
angkatan laut, beliau diserahi tugas sebagai pimpinan yang mengepalai puluhan
armada kapal. Pada januari 1513M Sunan Kudus sampai di perairan Malaka dan
memerangi Portugis. Meskipun kemudian dapat dipukul mundur oleh pasukan katolik
portugis dengan diserang muntah-muntahan peluru meriam
·
Selamatan Mitoni
Didalam
cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal
mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama. Seperti
diketahui, rakyat jawa banyak melakukan adat istiadat yang aneh, yang kadang
kala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnnya berkirim sesaji dikuburan
untuk menunjukkan bela sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah
seorang anggota keluarga, selamatan neloni. Mitoni dan lain-lain. Sunan Kudus
sangat memperhatikan [6]upacara-upacara
ritual tersebut dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya
dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan
Muria. Contohnya, bila seorang isteri orang jawa hamil tiga bulan maka akan
dilakukan acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa
bila anaknya
lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik
seperti Dewi Ratih. Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan
Kudus. Melainkan diarahkan dalam bentuk
Islami. Acara selataman boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim
sesaji kepada para dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan
sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang. Sedangkan permintaannya langsung
kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah seperti nabi
Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Maryam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang
ayah dan ibu harus sering membaca surat Yusuf dan surat Maryam dalam Al-Qur’an.
D.
Budaya yang di tinggalkan Sunan Kudus
Menara
kudus adalah sebutan dari salah satu masjid peninggalan sunan kudus. Masjid
yang terletak di kota Kudus , Jawa Tengah ini, lebih dikenal dengan Masjid
Menara atau Masjid Kudus ketimbang nama aslinya, Masjid Al-Aqsha. Masjid yang
dibangun oleh Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus ini, mempunyai menara yang sangat
antik, yang mencerminkan perpaduan dua budaya yaitu Islam dan Hindu Jawa
Masjid
Menara Kudus (disebut juga dengan Masjid Al Aqsa dan Masjid Al Manar) adalah
sebuah mesjid yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi atau tahun
956 Hijriah dengan menggunakan batu Baitul Maqdis dari Palestina sebagai batu
pertama. Masjid ini terletak di desa Kauman, kecamatan Kota, kabupaten Kudus,
Jawa Tengah. Mesjid ini berbentuk unik, karena memiliki menara yang serupa
bangunan candi. Masjid ini adalah perpaduan antara budaya Islam dengan budaya
Hindu. Pada masa kini, masjid ini biasanya menjadi pusat keramaian pada
festival dhandhangan yang diadakan warga Kudus untuk menyambut bulan Ramadan
adapun
peninggalan sunan kudus yaitu terbagi menjadi 2 yang kasap mata dan yang tidak
kasap mata yang kasap mata contoh,nya komplek masjid menara, keris tombak, gapura
kembar, dan yang tidak kasap mata yaitu ajaran-ajaran sunan kudus salah satunya
adalah toleransi
1.
“bagaimana sejarah menara kudus?Menara Kudus Bangunan Hindu atau
Islam?
Banyak pendapat tentang sejarah berdirinya masjid menara Kudus. Ada
yang bilang masjid ini adalah bangunan peninggalan Umat Hindu yang bermukim di
Kudus, kemudian datang Syekh Ja’far Shodiq (Sunan Kudus) yang mengubah bangunan
itu menjadi tempat ibadah Umat Islam.Namun pendapat itu adalah salah.Jika benar
menara Kudus adalah bangunan Hindu, bisa kita lihat kemana arah
menghadapnya.Bangunan Menara Kudus terdapat sebuah pintu masuk berupa tangga
disebelah barat bangunan. Hal ini menunjukan bahwa Menara ini menghadap kearah
barat. Sementara kalau ini bangunan peninggalan Hindu, harusnya bangunan ini
menghadap gunung. Karena tempat ibadah umat Hindu menghadap ke Gunung. Yang
pada daerah Kudus terletak di arah Utara. Bukti kedua kalau Menara ini bukan
bangunan Hindu bisa kita lihat pada dinding Menara ini. Jika ini Menara hindu,
seharusnya ada pahatan Arca atau patung-patung yang dianggap Umat Hindu sebagai
Dewa. Sementara pahatan pada dinding Menara ini hanya relief daun-daun dan
akar.
2.
Kapan berdirinya menara?
Mengenai kapan berdirinya
menara secara pasti tidak di ketahui karena tidak ada
catatan-catatan ataupun inspiksi yang menceritakan berdirinya menara, hanya
bisa di perkirakan berdasarkan dari fungsi bangunan dari menara untuk
mengumandangkan adzan itu tidak jauh dengan berdirinya masjid. Kalau berdirinya
masjid berdasarkan prasasti yang terletak di atas mirob masjid adalah pada 19
rajab 956 H.
3.
Apakah ada fungsi Masjid Menara selain untuk sholat semisal belajar
atau berdakwah?
Masjid menara di fungsikan untuk beribadah sholat ,untuk tempat
mengajar atau belajar berada di pendopo tajug komplek masjid itu luas ,tempat
menerima tamu dan pertemuan-pertemuan para wali juga di pendopo tajug, mungkin
setelah melakukan jamaah sholat ada juga proses belajar di masjid tapi tidak
mutlak berada di masjid karena yang di ajarkan oleh sunan kudus itu bukan hanya
mengajarkan tentang masalah kitab, agama tetapi sunan kudus lebih banyak
menekankan kan tentang bagaimana caranya agar pengikutnya mempunyai tingkah
laku yang baik dan itu tidak perlu dilakukan dalam masjid cukup diberikan
contoh, praktik.
4.
Apa fungsi gapura kembar yang ada di dalam masjid?
Gapura yang ada di dalam masjid adalah untuk jalan atau pintu masuk
dari masjid itu sendiri
5.
Kenapa piring-piring yang ada di dinding menara yang sudah lepas
tidak di ganti?
Prinsip dari BCB undang-undang cagar budaya
untuk mengganti suatu barang tersebut
harus sama dengan aslinya
6.
Apa saja benda-benda peninggalan sunan kudus?
Benda-benda
peninggalan sunan kudus itu di bagi menjadi 2, yaitu:peninggalan kasat mata dan
tidak kasat mata, yang peninggalan kasat mata seperti komplek masjid menara,
keris tombak.peninggalan yang tidak kasat mata seperti ajaran dari sunan
kudus.ajaran-ajaran sunan kudus salah satunya adalah toleransi.
7.
Gus Ji Gang itu apa?
Dulu sunan
kudus juga tidak hanya menyebarkan islam tetapi beliau juga bisa di katakan
membangun karakter masyarakat kudus yang sekarang ini disebut dengan Gus Ji
Gang.Gus Ji Gang itu kepanjangan dari baGus ngaJi lan daGang.
Apakah ada jalan khusus akulturasi yang di gunakan sunan kudus untuk berdakwah meyebarkan agama islam?
Media yang di
gunakan oleh sunan kudus adalah wayang klitik, wayang klitik itu wayang yang
terbuat dari kayu.
9.
Mengapa sunan kudus melarang masyarakat kudus untuk menyembelih
sapi?
Karena sapi adalah hewan yang di sucikan oleh orang hindu ,skarang
bagaimana cara menarik simpati orang hindu untuk masuk islam kalau hewan yang
di sucikan disembelih.
IV.
KESIMPULAN
Sunan
Kudus atau Syeh Ja'far Shodiq adalah seorang yang tidak hanya merupakan
senopati di Kerajaan Demak Bintaro namun juga ahli hukum agama Islam. Pada
waktu itu suasana di Kudus banyak terdapat kedholiman. Banyak masyarakat yang
suka foya-foya, judi, mabuk-mabukan dll. Hal tersebut membuat Sunan Kudus risau
dapatkah orang-orang yang dholim itu disadarkan.Akhirnya melalui dakwah, Sunan
Kudus berhasil mengajak mereka memeluk agama Islam Sunan Kudus atau Ja’far
Shodiq adalah putra dari Raden Usman Haji. Sunan Kudus ahli di dalam ilmu
agama, pemerintahan dan kesusasteraan. Tidak heran jika beliau menduduki
jabatan-jabatan penting. Di dalam menyebarkan agama islam, beliau menggunakan
cara-cara yang sangat bijaksana, melihat situasi dan kondisi masyarakat
setempat. Ini terbukti dari :
1. Bangunan Masjid dan Menara Kudus disesuaikan dengan seni bangun
atau arsitektur Hindu. Ini akan memberikan kesan bahwa agama yang dibawa oleh
Sunan Kudus sama dengan agama Hindu. Jadi masyarakat tidak terkejut atau
menolak.
2. Masyarakat Hindu menganggap bahwa sapi atau lembu adalah binatang
suci yang tidak boleh diganggu. Sunan Kudus juga memerintahkan kepada
masyarakat supaya jangan menyembelih lembu. Jika ini terjadi, maka masyarakat
akan marah, sebab binatang kesayangannya diganggu.
3.
Lubang pancuran yang berjumlah delapan buah dan berbentuk kepala
arca. Angka delapan ini menurut orang Buddha diartikan delapan jalan kebenaran
Sunan
Kudus selain terkenal sebagai seorang wali, ahli dalam bidang agama,
pemerintahan dan kesusasteraan, beliau juga dikenal sebagai pedagang yang kaya.
Beliau mendapat gelar Waliyyul Ilmi, sehingga beliau diangkat sebagai penghulu
(Qodi) di kerajaan Demak.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Rachmat. 2015.
Walisongo Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa. Solo: Al Wahi.
Abd. Moqsith Ghazali, Djohan Effendi, 2009, Merayakan Kebebasan
Beragama Bunga
Sunyoto,Agus. 2012. Atlas
Walisongo, Bandung: Mizan Media Utama.
Muljana, Slamet, 2005,
Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara
Wawancara juru kunci makam Sunan Kudus Muhammad Nurriza.
Said,
Nur, 2010, Jejak Perjuangan Sunan Kudus dalam Membangun Karakter Bangsa,
[1] Abdullah, Rachmat. 2015.
Walisongo Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa. Solo: Al Wahi. hal
32-33
[2] Sunyoto,Agus. 2012. Atlas
Walisongo, Bandung: Mizan Media Utama. hal 34-45
[5] Muljana, Slamet, 2005,
Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara hal 54-57
[8] Said, Nur, 2010, Jejak Perjuangan Sunan Kudus dalam Membangun
Karakter Bangsa, hal 112-115
Tidak ada komentar:
Posting Komentar